KARAWANG, GLOBALSATU.ID — Pemerintah Kabupaten Karawang saat ini gencar melakukan penataan kota dengan menggelontorkan anggaran miliaran rupiah melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tahun Anggaran 2025. Sejumlah proyek peningkatan jalan, trotoar, taman kota, hingga infrastruktur penunjang lainnya tampak dikebut menjelang tutup tahun anggaran.
Namun di balik hiruk-pikuk pembangunan fisik tersebut, jeritan masyarakat kecil justru dinilai semakin tak terdengar. Dengan dalih “penataan kota”, alokasi anggaran besar terus digelontorkan, bahkan sejumlah proyek terkesan dilaksanakan secara terburu-buru demi mengejar serapan anggaran.
Ironisnya, di berbagai wilayah Karawang masih banyak masyarakat miskin yang hidup dalam keterbatasan. Tidak sedikit warga yang bertahan di rumah tidak layak huni, kesulitan memenuhi kebutuhan makan sehari-hari, serta minim akses terhadap layanan dasar.
Menanggapi kondisi tersebut, Ketua Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Asosiasi Keluarga Pers Indonesia (AKPERSI) Kabupaten Karawang, Feri Maulana angkat bicara. Ia menyoroti kebijakan pembangunan yang dinilainya belum sepenuhnya berpihak pada realitas sosial masyarakat bawah.
“Kami mendukung penataan kota, tetapi jangan sampai pembangunan hanya menjadi simbol kemewahan yang menutupi penderitaan rakyat kecil. Jangan biarkan masyarakat kecil hanya menjadi penonton di tengah kemajuan yang katanya untuk semua,” tegas Feri maulana.
Ia menambahkan, AKPERSI Karawang menerima banyak laporan dan keluhan dari masyarakat terkait kondisi kemiskinan ekstrem yang masih terjadi di lapangan.
“Kami menerima banyak keluhan warga yang hidup di bawah garis kemiskinan, rumah tak layak huni, dan kesulitan makan. Ini fakta yang tidak bisa disembunyikan hanya dengan trotoar baru atau lampu taman yang gemerlap,” ujarnya.
Feri Maulana pun meminta Pemerintah Kabupaten Karawang untuk membuka mata dan telinga lebih lebar terhadap kondisi sosial masyarakat.
“Jangan sampai anggaran habis hanya untuk kejar tayang proyek. Warga Karawang membutuhkan kehadiran pemerintah yang adil, berpihak, dan berperikemanusiaan,” pungkasnya.
Kondisi ini mencerminkan adanya ketimpangan dalam prioritas pembangunan. Di satu sisi, wajah kota terus dipercantik. Namun di sisi lain, persoalan kemanusiaan seperti hunian layak, pangan, dan kesehatan masih menjadi mimpi bagi sebagian warga.
Penataan kota sejatinya tidak hanya berhenti pada aspek fisik dan estetika. Kota yang benar-benar maju adalah kota yang mampu menjawab kebutuhan warganya secara menyeluruh.
Apalah artinya jalan mulus dan taman indah jika sebagian rakyatnya masih hidup dalam jerat kemiskinan. Masyarakat kini menanti sikap bijak dan adil dari Pemkab Karawang, bahwa pembangunan bukan semata soal infrastruktur, melainkan tentang manusia yang tinggal dan hidup di dalamnya.
Jika suara rakyat kecil terus diabaikan, maka penataan kota dikhawatirkan hanya akan menjadi simbol kesenjangan sosial yang kian dalam.
(Hel)